Minggu, 06 Maret 2011

Rumah Kapitan Sebagai Bukti Sejarah Bagansiapiapi

Nuansa Wisata Riau***

Bangunan Rumah Kapitan di kota Bagan Siapiapi, Kabupaten Rokan Hilir adalah salah satu warisan budaya yang kini masih tersisa. Bangunan dengan arsitektur perpaduan gaya tradisional Tionghoa dan Melayu ini seharusnya perlu dirawat, dijaga dan dilestarikan.
Di Provinsi Riau sendiri, boleh dikatakan tidak ada lagi bangunan Rumah Kapitan. Jadi, Rumah Kapitan yang ada di kota Bagansiapiapi ini adalah satu-satunya. Rumah Kapitan milik Yeo Ming San ini telah musnah dibongkar beberapa bulan lalu.
Ini membuktikan tidak adanya kepedulian mayarakat dan pemerintah terhadap bangunan bersejarah tersebut. Padahal, bangunan iut merupakan salah satu objek wisata yang cukup mendapat perhatian bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke “kota ikan” itu.
Buktinya, setiap ada kunjungan wisata ke kota itu, sang guide alias pramuwisata selalu “menggiring” tamunya itu melihat bangunan yang terletak di belakang kelenteng Ing Hok Kiong. Tapi kini, bangunan itu sudah tinggal kenangan.
Bangunan terbuat dari papan ini telah dirubuhkan dan dibongkar demi semata untuk memenuhi kepentingan ekonomi atau kepentingan modernisasi. Sedangkan bangunan Rumah Kapitan yang paling kuno dan tersisa satu-satunya milik ahli waris Ba Ching masih berdiri kokoh tetapi tidak terawat.
Konon, Rumah Kapitan ini masih dihuni oleh keturunan ahli waris Ba Ching. Bangunan yang terletak di pertengahan tiga jalan yakni jalan Sumatera, jalan Pahlawan, dan jalan Mawar itu hingga kini masih berdiri meskipun mulai rapuh dimakan usia. Dan wisatawan pun masih kerap berkunjung ke objek wisata yang jaraknya sekitar 25 meter dari belakang kelenteng Ing Hok Kiong. Hanya berjalan sebentar di sebuah gang kecil, bangunan itu sudah bisa dilihat.
Bangunan Rumah Kapitan berusia hamper seabad yang ada di Bagansiapiapi ini memiliki sejarah penting. Khususnya menyangkut sistem kekuasaan Opsir (Kapitan ) Tionghoa semasa berkuasa di Bagan Siapiapi waktu silam.
Seperti diketahui, Kapitan Tionghoa merupakan sebutan yang diberi dan diciptakan oleh sistem Pemerintahan Kolonial Belanda dalam upaya mengendalikan dan mengatur komunitas masyarakat Tionghoa di daerah tersebut.
Jadi, Kapitan adalah pejabat yang diangkat Pemerintahan Kolonial Belanda masa itu. Biasanya, seorang Kapitan dipilih atas dasar ketokohan dan kekayaan serta punya pengaruh besar dalam masyarakat pedagang Tionghoa.
Tak heran, Kapitan Tionghoa pada umumnya adalah sosok yang sangat kaya di antara komunitas masyarakat Tionghoa. Kekayaan adalah bagian dari parameter penghargaan yang tinggi. Bahkan pengaruh ketokohannya pada komunitas masyarakat Tionghoa sangat dipercayai penuh.
Karena itu, seorang Kapitan memiliki peran penting dalam menjembatani kepentingan ekonomi, politik, dan sosial antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan komunitas masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi saat itu.
Di awal abad XVII silam, telah ditemukan pemimpin Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta) menjadi Kapitan, Letnan dan Mayor adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Kemudian di awal abad XIX, di Bagan Siapiapi sudah terbentuk salah satu pemimpin masyarakat Tionghoa yang diangkat menjadi Kapitan. Tentunya, dalam menjalankan kewenangan dan kekuasaannya, sang Kapitan ini diberi hak penuh untuk mendidirikan bangunan Rumah Kapitan. Bangunan itu berfungsi sebagai kantor operasional dalam menjalankan kekuasaan.
Layaknya system pemerintahan sekarang, fungsi umum Kapitan Tionghoa yakni membuat catatan daftar kelahiran (sekarang akte kelahiran), kematian, pernikahan, kedatangan atau migrasi mereka serta kegiatan kebudayaan atau tradisi komunitas masyarakat Tionghoa di daerah tersebut. amien-NWR (lihat fotonya di bawah)