Nuansa Wisata Riau***
Siang itu, Daswin terlihat sibuk bekerja di gubuk terapung yang tak jauh dari dermana pintu masuk ke objek wisata Pantai Solop. Pria berusia sekitar 40 tahun ini dengan telatennya, terus menaburi lumpur ke setiap goni yang berisi siput laut. Tujuannya agar siput yang dibelinya dari nelayan di sekitar Pulau Cawan tetap hidup hingga akhirnya dijual ke pialang siput di Singapura.
Itulah salah satu sisi kehidupan masyarakat di Pulau Cawan, khususnya di sekitar objek wisata Pantai Solop yang berada di Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Dengan santainya, satu demi satu, goni berisi siput dibukanya dan kemudian diikatnya kembali setelah ditaburi lumpur laut.Kehidupan masyarakat di sana cukup memperihatinkan. Selain bermata pencaharian sebagai nelayan tradisisional, ada juga sejumlah warganya yang menekuni pekerjaan sebagai pembakar kayu bakau untuk memproduksi arang.
Bila tahun-tahun sebelumnya, Pantai Solop sering dikunjungi pejabat, khususnya pada masa Rusli Zainal menjabat Bupati Inhil, kini sudah jarang. Bahkan kini, Bupati Inhil, Indra Mukhlis Adnan sendiri tak pernah mengunjungi objek wisata unggulan Kabupaten Inhil tersebut. Sehingga wajar saja, masyarakat di sana merasa kesal terhadap bupati yang kini kembali dipercaya menjabat Bupati Inhil untuk kali keduanya.
Daswin, misalnya. Raut wajahnya selalu berkerut ketika ditanya seputar perkembangan objek wisata “nan mempesona” (menurut syair lagu pantai solop yang dinyanyikan Rusli Zainal semasa menjabat Bupati Inhil yang kini Gubernur Riau). Dengan wajah memelas, dia pun agak “ogah” bercerita tentang kampungnya itu.
“Beginilah Pantai Solop sekarang. Tak terurus lagi. Yang datang berwisata ke sini sudah jarang. Kalau pun ada, itu pun pada hari-hari besar, seperti hari raya. Si Janggut (Indra Mukhlis Adnan) sendiri tak pernah ke sini sejak dia menjabat. Makanya, beginilah jadinya kampung kami ini. Mereka tak memperhatikannya lagi,” kata Daswin dengan wajah memelasnya sambil menaburi lumpur ke karung berisi siput.
Memang, objek wisata yang memiliki pasir putih “aneh” karena bercampur dengan pecahan kulit siput, sepertinya sudah ditinggalkan pemerintah setempat. Ya, ditinggalkan secara perlahan. Ini tentunya menurut pengakuan warga di sana.
“Kalau dulu, waktu Pak Rusli Zainal menjabat bupati, Pantai Solop ini selalu banyak dikunjungi orang. Karena selain menikmati keindahan alam, di sini juga sering dilakukan kegiatan-kegiatan hiburan. Tapi kini sudah jarang. Yang berkunjung ke sini sudah jarang,” ujar Mardi, warga Pantai Solop lainnya.
Meskipun Pulau Cawan dengan Pantai Solopnya tak diperhatikan lagi, tapi masyarakat di sana tetap optimis menatap hidup. Mereka tetap tekun dan rukun menjalani hidup. Seolah tak ada masalah, mereka tetap beraktivitas mencari nafkah demi masa depan anak-cucunya. Dengan satu harapan, semoga generasi yang tinggal di Pantai Solop tetap berkeseinambungan.
“Ya, beginilah. Kita harus bekerja dan terus bekerja untuk mencari uang. Mungkin sudah beginilah nasib Pantai Solop. Kita hanya bisa berharap, suatu saat nanti, daerah kami ini kembali diperhatikan pemimpin Inhil yang lain,” urai Daswin dengan nada kesalnya.
Sanking kesalnya, pria berbadan tegap dan sedikit gemuk ini, seolah berusaha menepis untuk tidak bercerita tentang ketenaran Pantai Solop dulu. Makanya, Dimpuan Wisata pun terpaksa mengalihkan pembicaraan seputar kegiatannya yakni sebagai pebisnis jual beli siput laut.
Menurutnya, saat itu, harga siput laut perkilonya dibeli dari nelayan seharga Rp 3.000. Kemudian, kembali dijual ke pialang atau tokey di Singapura seharga Rp 5.000 perkilogramnya. Namun, sebelum menjualnya ke Singapura, Daswin harus terlebih dahulu mengumpulkannya di gudang terapung miliknya selama beberapa hari. Setelah cukup banyak, baru dijual ke Singapura.
“Sebenarnya, untung yang kita peroleh tak sebanding dengan untung yang didapat orang Singapura itu. Bayangkan saja, untuk satu porsinya (sekitar setengah kilogram), mereka jual seharga Rp 15. 000. Kan, untung mereka jauh lebih banyak. Tapi biarlah, mereka itu lebih maju, pitar dan kaya-kaya,” kenangnya.
Walaupun dijual murah, Daswin dan tentunya para nelayan lainnya tetap berjiwa besar. Biarpun kehidupannya tetap pas-pasan, mereka tetap hidup dalam kedamaian. Seperti damainya alam Pantai Solop yang dihuni sekitar 30 kepala keluarga itu.
Anak mereka terus diupayakan tetap bisa belajar di bangku sekolah. Tentunya, semua itu demi masa depan daerahnya, Pulau Cawan dengan Pantai Solopnya. Bahkan, pemberian pendidikan agama kepada anak-anak (generasi muda), juga tak luput dari perhatian para orang tua di sekitar Pantai Solop.
“Di sini, ada sekolah dasar. Namun, sekolah untuk pendidikan agama (madrasah), belum ada. Makanya, anak-anak pun belajar mengaji melalui orang tuanya di rumahnya masing-masing. Kalau tidak, anak-anak belajar di rumah tetangga secara bersama-sama,” kata Mardi.Itulah secuil sisi kehidupan masyarakat di Pantai Solop, Pulau Cawan.
Banyak kenangan dan kesan yang dipetik ketika Dimpuan Wisata mengunjungi objek wisata tersebut beberapa waktu lalu. Termasuk ketika merasakan keramahan warganya, baik yang masih tinggal di Pantai Solop maupun di Desa Pulau Cawan yang tak jauh dari Pantai Solop.
Desa Pulau Cawan berpenghuni sekitar 70 kepala keluarga ini tak begitu jauh dari Pantai Solop. Di desa inilah pusat perekonomian warga. Di sana terdapat sejumlah pedagang yang menjual keperluan pangan, sandang dan lainnya. Semua rumah warga yang terbuat dari papan itu berada di atas air laut.Mereka sebelumnya tinggal di sekitar bibir Pantai Solop. Tapi karena pemerintah pada masa kepemerintahan Rusli Zainal hendak mengembangkan objek wisata Pantai Solop, lantas, warga yang rumahnya berada di batas wilayah pengembangan terpaksa dipindahkan ke Desa Pulau Cawan.
Tentunya, mereka pun bersedia pindah demi kemajuan daerahnya.Namun, impian mereka itu pun akhirnya sirna manakala pemerintah setempat saat ini tak lagi peduli dengan Pantai Solop. Ini dilihat dari jarangnya pejabat pemerintah yang mengunjungi daerah tersebut. Bahkan, infrastruktur di objek wisata itu pun sudah mulai rusak karena tak terawat.
Objek wisata ini pun layaknya tak pantas lagi untuk dikunjungi. Sangat memprihatinkan.Padahal, kalau pemerintah serius untuk mengembangkannya, Pantai Solop dengan pohon bakaunya yang unik, punya potensi yang tak ternilai. Khususnya untuk dikembangkan sebagai objek wisata bahari di kabupaten Inhil. (NWR)
Lihat Foto (3) dan (4)
Minggu, 08 Agustus 2010
Kamis, 05 Agustus 2010
Cagar Biosfer GSK-BB, Objek Wisata Warisan Dunia yang Membentang di Bumi Riau
Pekanbaru***
Negeri “Bumi Lancang Kuning” sepertinya sudah tak asing lagi bagi kedua negara tetangga Indonesia. Yakni Singapura dan Malaysia. Tentunya, Provinsi Riau terkenal karena dikategorikan sebagai daerah “pengekspor” asap ke kedua negara tersebut.
Memang tak bisa dipungkiri. Hampir setiap tahun, di daerah yang kaya akan sumber daya alam ini kerab terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tentunya, hasil produksinya yaitu asap ini pun sangat merisaukan semua pihak. Tak terkecuali pemerintah negeri Malaysia dan Singapura karena bila angin bertiup ke arah sana, tentu kedua negara tersebut pun “diserang” kabut asap yang berasal dari Riau. Akibatnya, kedua negara itu (khususnya Singapura) acapkali memprotes pemerintah Riau (Indonesia).
Tapi, mereka (Singapura dan Malaysia) juga harus fair. Jangan hanya memprotes saja. Sebab, negeri “Bumi Lancang Kuning” juga punya peranan penting bagi kelangsungan bumi, termasuk kedua negara tersebut. Apa itu ?. Ya, karena di negeri ini masih terdapat cagar biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) yang tentunya merupakan warisan dunia.
Tentunya, keberadaan cagar biosfer yang natabene juga merupakan salah satu objek wisata alam ini memiliki sumbangsih yang tiada ternilai. Khususnya dalam hal pelestarian lingkungan. Dimana, dengan ditetapkannya Suaka Alam GSK-BB yang luasnya diperkirakan 178.000 hektar menjadi cagar biosfer, hal ini telah menjadi salah satu perhatian dunia terhadap Riau.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dengan dilestarikannya cagar biosfer tersebut, Provinsi Riau akan semakin dikenal dunia luar. Dikenal bukan karena pengekspor asap, tapi karena adanya objek wisata alam Cagar Bisfer GSK-BB. Jadi, objek wisata ini bisa menjadi pendongkrak objek-objek wisata lainnya yang terdapat di provinsi Riau.
Sebagaimana diketahui, objek wisata Cagar Biosfer GSK-BB ditetapkan 26 Mei 2008 lalu pada sidang UNESCO di Jeju, Korea Selatan. Objek wisata alam Cagar Biosfer GSK-BB merupakan satu dari 22 lokasi yang diusulkan 17 negara yang diterima menjadi cagar biosfer.
Ditetapkannya cagar biosfer tersebut, tentu pula tidak terlepas dari sumbangsih perusahaan Sinar Mas Forestry (Asian Pulp and Paper) yang menyerahkan 72.255 hektar lahan konsesi hutan produksinya untuk konservasi permanen.
Berdasarkan hasil studi alias penelitian LIPI, di kawasan Cagar Biosfer tersebut banyak terdapat flora dan fauna yang begitu beragam. Konon, di sana terdapat 150 jenis burung, 10 jenis hewan mamalia termasuk yang dilindungi. Seperti gajah dan harimau. Kemudian juga terdapat delapan jenis binatang reptil, serta 52 spesies tumbuhan langka dan dilindungi.
Bayangkan, bila Cagar Biosfer GSK-BB terus dilestarikan dan kemudian dipromosikan sebagai salah objek wisata alam unggulan Riau yang mendunia, tentunya akan berdampak positif bagi masyarakat dan pemerintah di negeri Bumi Lancang Kuning. Ini tak sekedar khayalan. Sebab, masyarakat dunia sekarang dan mendatang, akan semakin menginginkan objek-objek wisata bernuansa alam untuk dijadikan tempat berlibur.
Nah, mengingat prediksi tersebut, tentunya Riau memiliki modal untuk menyambut kedatangan para wisatawan (wisatawan Nusantara dan Mancanegara) yang berkunjung ke negeri kaya minyak ini. Sekarang, bagaimana respon pemerintah dan masyarakat, serta berbagai pihak lainnya. Tentunya, kesepakatan untuk melestarikan Cagar Biosfer GSK-BB menjadi kata kunci.
Khusus untuk pihak perusahaan Sinar Mas Forestry, kata “salut” wajar ditujukan kepada mereka. Sebab, perusahaan ini memiliki peran penting sehingga objek wisata tersebut diakui dunia. Dan menurut pihak perusahaan tersebut, zona penyangga cagar biosfer itu seluas 222.425 hektar yang sebagian besar (sekitar 88 persen) merupakan kawasan hutan tanaman industri Grup Sinar Mas.
Menurut mereka, hutan penyangga merupakan kunci untuk melindungi zona inti. Di sisi terluar terdapat area transisi 304.123 hektar, kerja sama di bidang perkebunan, pertanian, dan permukiman yang melibatkan masyarakat. Jadi, Cagar Biosfer GSK-BB adalah sebuah “warisan” pusaka alam dunia di Bumi Lancang Kuning yang kelak bisa menjadi objek wisata andalan Riau. (NWR)
Negeri “Bumi Lancang Kuning” sepertinya sudah tak asing lagi bagi kedua negara tetangga Indonesia. Yakni Singapura dan Malaysia. Tentunya, Provinsi Riau terkenal karena dikategorikan sebagai daerah “pengekspor” asap ke kedua negara tersebut.
Memang tak bisa dipungkiri. Hampir setiap tahun, di daerah yang kaya akan sumber daya alam ini kerab terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tentunya, hasil produksinya yaitu asap ini pun sangat merisaukan semua pihak. Tak terkecuali pemerintah negeri Malaysia dan Singapura karena bila angin bertiup ke arah sana, tentu kedua negara tersebut pun “diserang” kabut asap yang berasal dari Riau. Akibatnya, kedua negara itu (khususnya Singapura) acapkali memprotes pemerintah Riau (Indonesia).
Tapi, mereka (Singapura dan Malaysia) juga harus fair. Jangan hanya memprotes saja. Sebab, negeri “Bumi Lancang Kuning” juga punya peranan penting bagi kelangsungan bumi, termasuk kedua negara tersebut. Apa itu ?. Ya, karena di negeri ini masih terdapat cagar biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) yang tentunya merupakan warisan dunia.
Tentunya, keberadaan cagar biosfer yang natabene juga merupakan salah satu objek wisata alam ini memiliki sumbangsih yang tiada ternilai. Khususnya dalam hal pelestarian lingkungan. Dimana, dengan ditetapkannya Suaka Alam GSK-BB yang luasnya diperkirakan 178.000 hektar menjadi cagar biosfer, hal ini telah menjadi salah satu perhatian dunia terhadap Riau.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dengan dilestarikannya cagar biosfer tersebut, Provinsi Riau akan semakin dikenal dunia luar. Dikenal bukan karena pengekspor asap, tapi karena adanya objek wisata alam Cagar Bisfer GSK-BB. Jadi, objek wisata ini bisa menjadi pendongkrak objek-objek wisata lainnya yang terdapat di provinsi Riau.
Sebagaimana diketahui, objek wisata Cagar Biosfer GSK-BB ditetapkan 26 Mei 2008 lalu pada sidang UNESCO di Jeju, Korea Selatan. Objek wisata alam Cagar Biosfer GSK-BB merupakan satu dari 22 lokasi yang diusulkan 17 negara yang diterima menjadi cagar biosfer.
Ditetapkannya cagar biosfer tersebut, tentu pula tidak terlepas dari sumbangsih perusahaan Sinar Mas Forestry (Asian Pulp and Paper) yang menyerahkan 72.255 hektar lahan konsesi hutan produksinya untuk konservasi permanen.
Berdasarkan hasil studi alias penelitian LIPI, di kawasan Cagar Biosfer tersebut banyak terdapat flora dan fauna yang begitu beragam. Konon, di sana terdapat 150 jenis burung, 10 jenis hewan mamalia termasuk yang dilindungi. Seperti gajah dan harimau. Kemudian juga terdapat delapan jenis binatang reptil, serta 52 spesies tumbuhan langka dan dilindungi.
Bayangkan, bila Cagar Biosfer GSK-BB terus dilestarikan dan kemudian dipromosikan sebagai salah objek wisata alam unggulan Riau yang mendunia, tentunya akan berdampak positif bagi masyarakat dan pemerintah di negeri Bumi Lancang Kuning. Ini tak sekedar khayalan. Sebab, masyarakat dunia sekarang dan mendatang, akan semakin menginginkan objek-objek wisata bernuansa alam untuk dijadikan tempat berlibur.
Nah, mengingat prediksi tersebut, tentunya Riau memiliki modal untuk menyambut kedatangan para wisatawan (wisatawan Nusantara dan Mancanegara) yang berkunjung ke negeri kaya minyak ini. Sekarang, bagaimana respon pemerintah dan masyarakat, serta berbagai pihak lainnya. Tentunya, kesepakatan untuk melestarikan Cagar Biosfer GSK-BB menjadi kata kunci.
Khusus untuk pihak perusahaan Sinar Mas Forestry, kata “salut” wajar ditujukan kepada mereka. Sebab, perusahaan ini memiliki peran penting sehingga objek wisata tersebut diakui dunia. Dan menurut pihak perusahaan tersebut, zona penyangga cagar biosfer itu seluas 222.425 hektar yang sebagian besar (sekitar 88 persen) merupakan kawasan hutan tanaman industri Grup Sinar Mas.
Menurut mereka, hutan penyangga merupakan kunci untuk melindungi zona inti. Di sisi terluar terdapat area transisi 304.123 hektar, kerja sama di bidang perkebunan, pertanian, dan permukiman yang melibatkan masyarakat. Jadi, Cagar Biosfer GSK-BB adalah sebuah “warisan” pusaka alam dunia di Bumi Lancang Kuning yang kelak bisa menjadi objek wisata andalan Riau. (NWR)
Lihat Foto (1) dan (2)
Langganan:
Postingan (Atom)