Nuansa Wisata Riau***
Kota Pekanbaru memiliki sejumlah sejumlah objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah gedung perpustakaan Soeman HS yang berdiri megah di samping gedung kantor perkantoran Gubernur Riau, Jalan Jenderal Sudirman pekanbaru.
Konon, gedung perpustakaan tersebut merupakan terbesar dan termegah di Nusantara. Bahkan, keunikan bentuk bangunannya pun mampu membuat setiap pendatang yang mengunjungi kota kota bertuah terkesima. Tak heran, gedung ini pun menjadi salah satu ikon pariwisata ibukota Provinsi Riau.
Setiap harinya, jumlah pengunjungnya gedung berlantai enam itu selalu ramai. Selain menyediakan beragam bacaan, di objek wisata pendidikan ini juga tersedia fasilitas lainnya. Seperti fasilitas hotspot. Bahkan, pengunjung juga bisa menikmati suguhan kuliner yang terdapat di lantai dasar dengan hawa sejuk yang keluar dari Air Conditioner.
Ketika sedang membaca buku, misalnya. Pengunjung bisa sambilan memandang suasa kota Pekanbaru dari lantai ketinggian. Sebab, dinding gedung setiap tingkatan lantainya terbuat dari kaca. Sehingga transparan.
Pengunjung yang datang ke objek wisata itu, selain dari kalangan pelajar dan mahasiswa, ternyata juga banyak dari kalangan umum. Apalagi pada Sabtu dan Minggu. Pengunjungnya meningkat tajam. Nah, bagi Anda yang belum menginjakkan kakinya di gedung tersebut,silahkan datang. Parkir tak bayar alias gratis. (NWR)
Senin, 31 Januari 2011
Kamis, 27 Januari 2011
Menengok Budaya Purba dari Candi Muara Takus
Nuansawisatariau***
Bingung mau liburan kemana? Tak ada salahnya Anda memilih Candi Muara Takus sebagai salah satu alternative tempat liburan. Selain berwisata juga menambah wawasan tentang candi tersebut.
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Budha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XII Koto Kampar jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir sungai Kampar kanan.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata.
Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk.
Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini.
Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm.
Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru.
Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga. Yakni stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan, stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap dan stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap. (NWR)
Bingung mau liburan kemana? Tak ada salahnya Anda memilih Candi Muara Takus sebagai salah satu alternative tempat liburan. Selain berwisata juga menambah wawasan tentang candi tersebut.
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Budha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XII Koto Kampar jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir sungai Kampar kanan.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata.
Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk.
Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini.
Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm.
Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru.
Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga. Yakni stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan, stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap dan stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap. (NWR)
Bentangan Pesona Alam di Negeri Seribu Parit
Nuansawisatariau***
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) disebut juga negeri “Seribu Parit”. Julukan ini tepat untuk menggambarkan keadaan alamnya yang didominasi kawasan rawa bertanah gambut serta parit-parit kecil, memetak lahan perkebunan kelapa yang merupakan tanaman rakyat setempat.
Masyarakat umumnya dari suku Melayu namun di daerah ini juga terdapat pendatang dan etnis Banjar dan Bugis yang kemudian bermukim dan secara turun temurun melahirkan bentuk budaya campuran Meiayu Riau, Banjar dan Bugis.
Daerah Inhil yang berbatasan langsung dengan Batam, Kepulauan Riau ini memiliki porensi wisata. Di antaranya Bukit Berbunga di sebelah Selatan Desa Batu Ampar, Kecamatan Keritang, yang dapat ditempuh dengan jalan setapak, melintasi dua buah sungai kecil.
Bukit dengan ketinggian sekitar 150 meter ini di puncaknya terdapat dua hamparan pasir yang disebut Gelanggang Muda dan Gelanggang Tua yang sering digunakan untuk tempat sabung ayam. Di sekitar bukit pada musim tertentu dihiasi dengan bunga Menik berwarna putih yang hanya terdapat di sekiiar bukit berbunga.
Obyek wisata alamnya adalah Air Terjun Tembulun Rusa di sebelah Utara Desa Batu Ampar, Aliran dari air terjun ini sejauh 2,5 km. Selain itu agrowisata juga dikembangkan dengan adanya perkebunan kelapa hybrida. perkebunan nenas di Pulau Burung, Kecamatan Kareman dimana hasil perkebunan ini telah diolah menjadi produk makanan seperti santan kelapa, tepung kelapa, air kelapa, nenas kaleng dan sebagainya.
Wisata ziarah terletak di Parit Hidayat Kecamatan Kuala Indragiri yaitu makam Syech Abdurrahman Sidik yang meninggal pada 10 Maret 1939. Makam ini setiap hari banyak dikunjungi orang yang berziarah baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping makarn juga berdiri masjid Al Hidayah yang didirikan pada abad ke-19.
Atraksi wisata yang unik di daerah ini adalah lomba sampan leper dan manongkah. Kegiatan ini bermula karena mendangkalnya sungai Batang Tuaka yang semula bisa dilayari kapal-kapal. Manongkah atau kegiatan ski di atas lumpur adalah suatu kegiatan suku Duanu dengan menggunakan papan untuk mencari kerang di atas pantai lumpur yang akhirnya tiap tahun diperlombakan.
Kegiatan lainnya yang menarik di Pekan Arba, Kecamatan Tembilahan ini adalah pacu jalur mini, lomba menangkap itik di atas lumpur, meniti batang pinang, lomba layang-layang, gasing dan kesenian tradisional lainnya. (NWR)
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) disebut juga negeri “Seribu Parit”. Julukan ini tepat untuk menggambarkan keadaan alamnya yang didominasi kawasan rawa bertanah gambut serta parit-parit kecil, memetak lahan perkebunan kelapa yang merupakan tanaman rakyat setempat.
Masyarakat umumnya dari suku Melayu namun di daerah ini juga terdapat pendatang dan etnis Banjar dan Bugis yang kemudian bermukim dan secara turun temurun melahirkan bentuk budaya campuran Meiayu Riau, Banjar dan Bugis.
Daerah Inhil yang berbatasan langsung dengan Batam, Kepulauan Riau ini memiliki porensi wisata. Di antaranya Bukit Berbunga di sebelah Selatan Desa Batu Ampar, Kecamatan Keritang, yang dapat ditempuh dengan jalan setapak, melintasi dua buah sungai kecil.
Bukit dengan ketinggian sekitar 150 meter ini di puncaknya terdapat dua hamparan pasir yang disebut Gelanggang Muda dan Gelanggang Tua yang sering digunakan untuk tempat sabung ayam. Di sekitar bukit pada musim tertentu dihiasi dengan bunga Menik berwarna putih yang hanya terdapat di sekiiar bukit berbunga.
Obyek wisata alamnya adalah Air Terjun Tembulun Rusa di sebelah Utara Desa Batu Ampar, Aliran dari air terjun ini sejauh 2,5 km. Selain itu agrowisata juga dikembangkan dengan adanya perkebunan kelapa hybrida. perkebunan nenas di Pulau Burung, Kecamatan Kareman dimana hasil perkebunan ini telah diolah menjadi produk makanan seperti santan kelapa, tepung kelapa, air kelapa, nenas kaleng dan sebagainya.
Wisata ziarah terletak di Parit Hidayat Kecamatan Kuala Indragiri yaitu makam Syech Abdurrahman Sidik yang meninggal pada 10 Maret 1939. Makam ini setiap hari banyak dikunjungi orang yang berziarah baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping makarn juga berdiri masjid Al Hidayah yang didirikan pada abad ke-19.
Atraksi wisata yang unik di daerah ini adalah lomba sampan leper dan manongkah. Kegiatan ini bermula karena mendangkalnya sungai Batang Tuaka yang semula bisa dilayari kapal-kapal. Manongkah atau kegiatan ski di atas lumpur adalah suatu kegiatan suku Duanu dengan menggunakan papan untuk mencari kerang di atas pantai lumpur yang akhirnya tiap tahun diperlombakan.
Kegiatan lainnya yang menarik di Pekan Arba, Kecamatan Tembilahan ini adalah pacu jalur mini, lomba menangkap itik di atas lumpur, meniti batang pinang, lomba layang-layang, gasing dan kesenian tradisional lainnya. (NWR)
Alam Natuna dan "The Lost World"
Nuansawisatariau**
Apakah Anda masih ingat dengan film The Lost World yang sempat populer beberapa waktu yang lalu? Film yang dibintangi aktor Sean Connery ini bercerita tentang sisi dunia yang hilang dan tidak terjamah dengan sejumlah potensi alamnya yang indah.
Pulau Natuna mengingatkan kita akan film tersebut. Bila Anda memiliki jiwa petualang, pasti akan tertantang dan terpuaskan untuk menjelajahi pulau ini.
Kepulauan Natuna merupakan bagian paling ujung utara Indonesia. Pulau Bunguran, Jemaja, dan Serasan merupakan tiga pulau terbesar di gugusan kepulauan ini. Kepulauan Natuna merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, dengan ibu kota Ranai di Pulau Bunguran, sebagai ibu kota kabupaten.
Natuna dikelilingi laut dalam. Di ujung utara berbatasan langsung dengan perairan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Di perairan sekitar Natuna terdapat karang tak terduga yang tersebar di laut lepas. Tidak heran bila dulu banyak warga Vietnam dan Singapura yang terdampar di pulau Natuna ini.
Dengan posisi dikelilingi laut luas, Natuna menjadi terpencil, serta minim fasilitas sosial dan fasilitas umum. Lautan luas seharusnya membuat Natuna menjadi penghasil laut utama. Namun, letak Natuna terlalu jauh sehingga membuat nelayan tidak mampu memasarkan ikan tangkapannya. Sementara itu, fasilitas ruang pendingin untuk mengawetkan ikan juga minim. Kekayaan laut Natuna diperkirakan dapat menghasilkan lebih dari satu juta ton ikan per tahun. Namun, saat ini baru tiga puluh enam persen saja yang termanfaatkan.
Minimnya pemanfaatan potensi laut juga karena pengaruh musim yang hanya ramah selama enam bulan saja. Selebihnya, saat angin utara datang, laut di sekitar Natuna menjadi ganas dan para nelayan memilih berkebun sebagai lahan menyambung hidup.
Gugusan Kepulauan Natuna juga memiliki pemandangan yang indah, dengan panorama pantai yang masih terjaga keasriannya. Natuna demikian elok dan memiliki banyak potensi.
Pengunjung dapat menemukan wisata pantai, seperti Pantai Tanjung, Pantai Sebagul, Pantai Teluk Selahang, Pantai Setengar, dan sebagainya. Sejumlah lokasi bahkan menjadi tempat favorit bagi penggemar snorkling, pengamat habitat penyu, dan pecinta wisata bawah air.
Pengunjung juga dapat mengunjungi Pulau Senoa dengan menggunakan pompong dan perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Bila dilihat dari fisiknya, bentuk Pulau Senoa menyerupai ibu hamil yang sedang berbaring di atas laut. Karena itu, Pulau ini kerap disebut dengan Pulau Ibu Hamil oleh penduduk setempat. Di Pulau Senoa, pengunjung akan menemukan penyu yang berkeliaran dengan bebas di pinggir pantai. Di Pulau ini juga terdapat sarang burung walet di sejumlah gua.
Selain itu, di Natuna juga ada obyek wisata gua dan batu-batuan seperti gua Batu Sindu, Batu Kapal, Alive Stone Park, dan sebagainya. Natuna memiliki sejumlah batu-batu berukuran besar yang tersebar di seluruh pulau. Kini, oleh pemerintah setempat, batu-batu tersebut dilindungi dan dijadikan obyek wisata.
Bentuk batu-batuan ini juga unik, seperti Batu Kapal berupa dua batu besar yang berjajar. Bentuknya menyerupai kapal besar yang terdampat di tepi pantai. Adapun Alive Stone Park berupa batu yang berdiri di atas serakan batu lainnya. Bentuknya menyerupai elips, dan mirip dengan batu yang ditemukan di Afrika.
Di Natuna, pengunjung juga dapat menemui salah satu spesies kera langka yang biasa disebut dengan nama `kekah`. Kekah hanya hidup dan berkembang di Bunguran seperti di kawasan Gunung Sintu (Pian Tengah, Sepang, Seberang), gunung Ranai, dan Gunung Ceruk.
Bentuk kekah sangat unik, tubuhnya diselimuti oleh bulu-bulu hitam tebal yang diselingi dengan warna putih pada bagian dada hingga kelihatan seperti mengenakan rompi putih dan pada bagian wajah. Mata kekah dikelilingi kulit berwarna putih dan abu-abu. Mereka terlihat seperti mengenakan kacamata.
Seperti jenis-jenis kera lainnya, Kekah yang pemakan buah-buahan, dedaunan, dan umbi-umbian ini juga hidup berkelompok dan agak sulit didekati karena sifatnya yang sedikit pemalu dan takut. Namun, bila beruntung, Anda dapat menemukannya di jalan raya dalam perjalanan menuju pelabuhan Selat Lampa, Kecamatan Pulau Tiga, Natuna.
Meski terpencil dan minim fasilitas, Natuna sebenarnya bukanlah kabupaten yang miskin. Di sekitar bagian utara Natuna, terpendam ladang gas d-alpha, dengan total cadangan 222 triliun cubic feet, dan gas hidrokarbon sebesar 46 triliun cubic feet. Hal ini menjadikan Natuna sebagai salah satu sumber cadangan gas terbesar di Asia.
Untuk mencapai Natuna dapat menggunakan pesawat kecil dengan kapasitas sekitar 45 orang dari Bandara Hang Nadim, Batu Besar, Batam, Kepulauan Riau; atau dari Bandara Kijang, Tanjung Pinang. Perjalanan dengan pesawat memakan waktu selama kurang lebih 1 jam 30 menit.
Atau dapat juga menggunakan jalur pelayaran dengan kapal Pelni dari Pelabuhan Kijang, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Kapal ini akan kembali lagi ke Natuna satu minggu kemudian. Perjalanan dengan kapal memakan waktu sekitar 12 jam.
Untuk penggemar wisata kuliner, di Natuna bisa dicicipi makanan seafood, seperti sup kepala ikan yang bisa diperoleh di rumah makan di jalan H R Subrantas Ranai Darat, Natuna. Pengunjung juga bisa mendapatkan madu asli Natuna yang dijual di toko dan warung-warung di Ranai Natuna.
Menjelajahi Natuna cukup menantang dan perjalanan panjang berganti transportasi menuju Natuna akhirnya akan terbayar dengan keindahan alamnya. (NWR)
Apakah Anda masih ingat dengan film The Lost World yang sempat populer beberapa waktu yang lalu? Film yang dibintangi aktor Sean Connery ini bercerita tentang sisi dunia yang hilang dan tidak terjamah dengan sejumlah potensi alamnya yang indah.
Pulau Natuna mengingatkan kita akan film tersebut. Bila Anda memiliki jiwa petualang, pasti akan tertantang dan terpuaskan untuk menjelajahi pulau ini.
Kepulauan Natuna merupakan bagian paling ujung utara Indonesia. Pulau Bunguran, Jemaja, dan Serasan merupakan tiga pulau terbesar di gugusan kepulauan ini. Kepulauan Natuna merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, dengan ibu kota Ranai di Pulau Bunguran, sebagai ibu kota kabupaten.
Natuna dikelilingi laut dalam. Di ujung utara berbatasan langsung dengan perairan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Di perairan sekitar Natuna terdapat karang tak terduga yang tersebar di laut lepas. Tidak heran bila dulu banyak warga Vietnam dan Singapura yang terdampar di pulau Natuna ini.
Dengan posisi dikelilingi laut luas, Natuna menjadi terpencil, serta minim fasilitas sosial dan fasilitas umum. Lautan luas seharusnya membuat Natuna menjadi penghasil laut utama. Namun, letak Natuna terlalu jauh sehingga membuat nelayan tidak mampu memasarkan ikan tangkapannya. Sementara itu, fasilitas ruang pendingin untuk mengawetkan ikan juga minim. Kekayaan laut Natuna diperkirakan dapat menghasilkan lebih dari satu juta ton ikan per tahun. Namun, saat ini baru tiga puluh enam persen saja yang termanfaatkan.
Minimnya pemanfaatan potensi laut juga karena pengaruh musim yang hanya ramah selama enam bulan saja. Selebihnya, saat angin utara datang, laut di sekitar Natuna menjadi ganas dan para nelayan memilih berkebun sebagai lahan menyambung hidup.
Gugusan Kepulauan Natuna juga memiliki pemandangan yang indah, dengan panorama pantai yang masih terjaga keasriannya. Natuna demikian elok dan memiliki banyak potensi.
Pengunjung dapat menemukan wisata pantai, seperti Pantai Tanjung, Pantai Sebagul, Pantai Teluk Selahang, Pantai Setengar, dan sebagainya. Sejumlah lokasi bahkan menjadi tempat favorit bagi penggemar snorkling, pengamat habitat penyu, dan pecinta wisata bawah air.
Pengunjung juga dapat mengunjungi Pulau Senoa dengan menggunakan pompong dan perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Bila dilihat dari fisiknya, bentuk Pulau Senoa menyerupai ibu hamil yang sedang berbaring di atas laut. Karena itu, Pulau ini kerap disebut dengan Pulau Ibu Hamil oleh penduduk setempat. Di Pulau Senoa, pengunjung akan menemukan penyu yang berkeliaran dengan bebas di pinggir pantai. Di Pulau ini juga terdapat sarang burung walet di sejumlah gua.
Selain itu, di Natuna juga ada obyek wisata gua dan batu-batuan seperti gua Batu Sindu, Batu Kapal, Alive Stone Park, dan sebagainya. Natuna memiliki sejumlah batu-batu berukuran besar yang tersebar di seluruh pulau. Kini, oleh pemerintah setempat, batu-batu tersebut dilindungi dan dijadikan obyek wisata.
Bentuk batu-batuan ini juga unik, seperti Batu Kapal berupa dua batu besar yang berjajar. Bentuknya menyerupai kapal besar yang terdampat di tepi pantai. Adapun Alive Stone Park berupa batu yang berdiri di atas serakan batu lainnya. Bentuknya menyerupai elips, dan mirip dengan batu yang ditemukan di Afrika.
Di Natuna, pengunjung juga dapat menemui salah satu spesies kera langka yang biasa disebut dengan nama `kekah`. Kekah hanya hidup dan berkembang di Bunguran seperti di kawasan Gunung Sintu (Pian Tengah, Sepang, Seberang), gunung Ranai, dan Gunung Ceruk.
Bentuk kekah sangat unik, tubuhnya diselimuti oleh bulu-bulu hitam tebal yang diselingi dengan warna putih pada bagian dada hingga kelihatan seperti mengenakan rompi putih dan pada bagian wajah. Mata kekah dikelilingi kulit berwarna putih dan abu-abu. Mereka terlihat seperti mengenakan kacamata.
Seperti jenis-jenis kera lainnya, Kekah yang pemakan buah-buahan, dedaunan, dan umbi-umbian ini juga hidup berkelompok dan agak sulit didekati karena sifatnya yang sedikit pemalu dan takut. Namun, bila beruntung, Anda dapat menemukannya di jalan raya dalam perjalanan menuju pelabuhan Selat Lampa, Kecamatan Pulau Tiga, Natuna.
Meski terpencil dan minim fasilitas, Natuna sebenarnya bukanlah kabupaten yang miskin. Di sekitar bagian utara Natuna, terpendam ladang gas d-alpha, dengan total cadangan 222 triliun cubic feet, dan gas hidrokarbon sebesar 46 triliun cubic feet. Hal ini menjadikan Natuna sebagai salah satu sumber cadangan gas terbesar di Asia.
Untuk mencapai Natuna dapat menggunakan pesawat kecil dengan kapasitas sekitar 45 orang dari Bandara Hang Nadim, Batu Besar, Batam, Kepulauan Riau; atau dari Bandara Kijang, Tanjung Pinang. Perjalanan dengan pesawat memakan waktu selama kurang lebih 1 jam 30 menit.
Atau dapat juga menggunakan jalur pelayaran dengan kapal Pelni dari Pelabuhan Kijang, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Kapal ini akan kembali lagi ke Natuna satu minggu kemudian. Perjalanan dengan kapal memakan waktu sekitar 12 jam.
Untuk penggemar wisata kuliner, di Natuna bisa dicicipi makanan seafood, seperti sup kepala ikan yang bisa diperoleh di rumah makan di jalan H R Subrantas Ranai Darat, Natuna. Pengunjung juga bisa mendapatkan madu asli Natuna yang dijual di toko dan warung-warung di Ranai Natuna.
Menjelajahi Natuna cukup menantang dan perjalanan panjang berganti transportasi menuju Natuna akhirnya akan terbayar dengan keindahan alamnya. (NWR)
Langganan:
Postingan (Atom)